Diagnosa dan Terapi COVID-19

Diagnosa dan Terapi COVID-19

(Lanjutan Dari “Pengaruh Cina Dalam Patogenesis, Diagnosa dan Terapi COVID-19)

            Berita terbaru dari WHO adalah, direkomendasikannya seluruh pasien ODP dan PDP untuk dicatat kematiannya sebagai pasien COVID-19. Dengan demikian penguburan jenazahnya dilakukan secara prosedural COVID-19.

            Padahal bila kita lihat kriteria ODP dan PDP yang diinstruksikan oleh WHO sangat longgar sekali. Di lain pihak, kita mendapatkan 95% gejala COVID-19 adalah ringan. Logikanya dengan gejala penyakit yang ringan, maka kematian akibat COVID-19, akan rendah. Tetapi karena kriteria ODP dan PDP dibuat longgar maka angka kematian akibat COVID-19 akan melonjak tinggi.  

            Orang-orang dengan panas 1 hari, dan gejala batuk dengan mudah akan dijadikan ODP. Oleh karena hampir semua tempat di dunia ini telah ada transmisi lokalnya. ODP tersebut akan diisolasi secara mandiri di rumahnya. Bila dia mati pada saat isolasi mandiri itu, maka dilakukan prosedur penguburan jenazah secara COVID-19, yaitu dengan cara dimasukkan ke dalam peti atau dibungkus plastik. Tidak peduli apakah dia meninggal oleh karena sakit jantung, stroke, jatuh dari tangga di rumahnya, atau lainnya. Bukan hanya itu saja. Orang-orang yang berada dalam rumah itupun dalam prakteknya bisa saja dijadikan OTG (orang tanpa gejala). Betapapun orang yang meninggal tersebut belum sempat diperiksa swab tenggorokannya. Rapid test negatif untuk OTG seperti itu tidaklah menghilangkan cap OTG pada orang tersebut.  Sedangkan rapid test positif menambah kuat cap OTG pada orang-orang itu. Dan bila ada diantara OTG itu yang batuk dan pilek, maka orang tersebut dijadikan ODP, dan harus diisolasi. Bila dia meninggal, maka jenazahnya harus menjalani prosedur COVID-19.

            Misalnya pasien yang dijadikan ODP itu tidak meninggal, tapi mengalami diare lebih dari 20x, atau mata kuning, atau sesak, atau lemas, atau pingsan, maka bila orang tersebut dibawa ke rumah sakit, dia akan dirawat dengan status PDP. Tidak peduli hasil laboratoriumnya seperti apa. Yang diperlukan adalah mencari gambaran pneumonia atau GGO (Ground Glass OpaCT). Bila tidak ada CT-Scan, maka foto thoraks perlu diulang-ulang sampai terlihat gambaran GGO.

Bagi saya, apa yang dituliskan di atas adalah seperti aturan setan. Sangat amburadul dan mengerikan. Fakta menunjukkan bahwa hanya 5% saja yang menunjukkan gejala berat, tetapi 95% yang ringan itu bisa menjadi ODP dan dikuburkan dalam peti atau dibungkus plastik bila ia meninggal. Fakta menunjukkan bahwa 95% gejala klinis COVID-19 adalah ringan, tetapi bila ada pasien dengan panas dan sesak berat atau gejala klinis berat lainnya akan didiagnosa sebagai COVID-19. Mereka menyakini adanya badai sitokin sebagai penyebab terjadinya gejala klinis yang berat itu. Suatu hal yang tidak sesuai fakta secara mayoritas gejala klinis yang terjadi akibat COVID-19. Dan mereka mengabaikan fakta bahwa badai sitokin itu tidak didukung oleh dasar-dasar keilmuan yang kuat termasuk juga laboratorium. Mereka tidak berhasil membuktikan adanya kompleks imun yang luas di dalam darah. Mereka tidak berhasil membuktikan adanya macam-macam komplemen yang meningkat. Kalaupun kita mempercayai ditemukannya macam-macam interleukin, maka badai sitokin tetap tidak terjadi. Sebab jumlah sitokin yang keluar hanya sedikit (http://renungan-tmudwal.com/pengaruh-cina-dalam-patogenesis-diagnosa-dan-terapi-covid-19/).

Tidak ada yang bisa di pakai sebagai standar untuk mendiagnosa CoVID-19. Adanya limpopenia atau absolut limposit ratio (ALC) < 15% dari total leukosit, netropil/limposit ratio (NLR) > 3,13, leukopenia (leukosit < 4.000 u/l), CRP yang meningkat (>10 mg/l), bisa terjadi oleh karena berbagai macam virus.

Tetapi ada hal yang kalau kita percayai, bisa menjadi standar, yaitu adanya gambaran ground glass opacity (GGO), pada gambaran rontgen atau CT scan. Para peneliti Cina di Wuhan, mendapatkan bahwa 100% CoVID-19, memberikan gambaran GGO. Apakah itu GGO? bisakah penyakit lain memberikan gambaran seperti itu?

GGO adalah istilah radiologi yang di mengindikasikan adanya peningkatan area berkabut putih pada paru-paru, dimana pembuluh darah dan struktur bronchial masih dapat terlihat. Hal tersebut kurang opaque bila di bandingkan dengan konsolidasi  dimana struktur-struktur tadi tidak tampak. Lebih umumnya, GGO difuse di asosiasikan dengan penyebaran luas dari inflamasi atau kelainan paru infiltrative (Europian Respiratory Journal 2009, 33:821-827).

Dari definisi tersebut, berarti GGO, dapat terjadi oleh karena macam-macam virus, bakteri, bahkan keganasan/kanker. Gambar foto thorax yang awalnya normal, kemudian berubah menjadi terlihat GGO, setelah dilakukan foto thorax ulang, bukanlah tanda pasti untuk menunjukkan CoVID-19. Pada infeksi Dengue,  atau bakteri, hal itu pun dapat terjadi. Jadi mengulang-ulang foto thorax, tidak diperlukan. begitu juga melakukan pemeriksaan CT scan demi untuk mencari adanya GGO. Foto thorax/CT scan boleh di ulang atau dilakukan bila pasien, yang tadinya tidak sesak, tiba-tiba menjadi sesak. Dan bila gambaran GGO terlihat, maka diagnosis CoVID-19, baru dapat dipikirkan. Atau CoVID-19 kombinasi dengan infeksi virus lain atau bakteri. Dengan demikian adanya gambaran GGO, jelas menunjukkan tingkat diagnostik yang lebih rendah ketimbang RT-PCR (Reverse Transcriptase Polymrase Chain Reaction). Pemeriksaan GGO sebagai alat bantu yang signifikan, bila CoVID-19 itu terjadi di Wuhan pada saat outbreak tempo hari atau New York saat ini.

Contoh 2 Kasus (yang saya ambil dari suatu webinar)

  1. Pasien laki-laki 55 tahun, masuk dengan keluhan demam 3 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS), nyeri ulu hati, nyeri kepala, batuk, Serologi Dengue positif, NS I antigen Dengue negatif, Ro thorax normal, diagnosis saat itu Dengue fever. Hari 6-7, menuju recovery phase, dimana demam sudah tidak menonjol. hari ke 8 pasien demam lagi dan batuk-batuk menjadi dominan, tetapi tidak sesak. Didapatkan Ronkhi halus pada kedua paru. Anamnesis ulang, ternyata pasien dan keluarga pasien, pernah duduk bersebelahan dengan orang yang mengalami CoVID-19, pada acara keagamaan. Pada hari ke 8 itu, didapatkan hasil procalsitonin mendekati normal, CRP 283, Limpopenia dan Leukosit sedikit meningkat. Dilakukan CT scan. CT scan menunjukkan gambaran GGO dan konsolidasi luas di seluruh lapang paru. Pasien dijadikan PDP, dan di pindahkan ke ruang isolasi. Dilakukan pemeriksaan swab tenggorok. Pasien sempat di pasang ventilator oleh karena terjadi desaturase.
  2. Wanita umur 35 tahun, demam 7 hari, disuria, tidak ada gejala saluran pernapasan, bekerja sebagai ibu rumah tangga, dan hanya kontak dengan orang terdekat. Laboratorium trombosit turun, leukosit normal, neutrofilia, limpopenia, CRP tinggi, NS I Antigen (-), serologi Dengue (-). thorax foto normal. Dilakukan  CT scan, terdapat gambaran GGO. Pasien di PDP kan dan masuk ruang isolasi kemudian dilakukan swab tenggorok.

Catatan:

Kedua kasus belum berhasil saya dapatkan bagaimana hasil swab tenggorokannya sampai saat ini.

Kasus ke-3 (diluar webinar)

  • Pasien datang ke tempat praktek swasta. Seorang laki-laki dengan umur 38 tahun, panas, batuk 4 hari, tidak ada sesak, baru datang dari Jakarta 10 hari yang lalu. tidak ada riwayat kontak. Pasien membawa hasil Ro thorax dan laboratorium. Ro thorax: paru dan jantung dalam batas normal. Hasil laboratorium: Hb 15,4 gr%, Leukosit 12.000, E 5,8 Juta, Trombosit 377.000/mm3, Hematokrit 45,7%, MCV 78,3, MCH 26,4, MCHC 33,7, Basofil 0,66%, Eusinofil 0,5%, Netrofil 76,2%, Limposit 14,8%, Monosit 7,9%.

Pasien tersebut dikirim ke rumah sakit, dengan diagnosis ODP. Dirumah sakit dilakukan CT scan, dan terlihat gambaran GGO di bagian basal bilateral kedua paru. Kemudian pasien di PDP kan dan masuk ruang isolasi. Sampai sekarang belum ada hasil swab tenggorokan.

Diskusi Kasus:

Kasus 1 dan 2

Adanya GGO pada CT scan atau thorax foto kelihatannya menjadi message penting dari webinar itu. Sepertinya menjadi gold standart untuk menyatakan seseorang menjadi PDP, sebelum hasil swab tenggorok keluar. Telah di tuliskan diatas, bahwa virus, bakteri atau kanker bisa memberikan gambaran GGO. Pada infeksi Dengue hal tersebutpun dapat terjadi. Adanya plasma leakage dan penghancuran komplek imun di paru-paru bisa memberikan gambaran GGO.

Pada kasus pertama, biasanya memang pada hari kelima infeksi Dengue akan masuk pada fase penyembuhan. Yang di tandai dengan  hilangnya panas dan naiknya jumlah trombosit. Tetapi itu tidak selalu terjadi.

Bila komplek imun banyak dan tersebar keseluruh tubuh, panas masih mungkin terjadi sampai hari ke-7 atau ke-8 bahkan hari ke-9. Perubahan drastis dari thorax foto yang normal menjadi perburukan yang luas pada CT scan, sangat besar kemungkinan adanya mixed infection antara infeksi Dengue  dan CoVID-19. Dengue infection mampu melakukan hal itu. CoVID-19 pun mampu melakukan hal itu. Adanya riwayat kontak dengan CoVID-19 yang terkonfirmasi, menyebabkan kemungkinan diagnosis CoVID-19 adalah sangat mungkin. Setuju untuk di masukkan dalam PDP. Tetapi pemberian cairan yang adekuat dan terapi kortikosteroid dosis imunosuppresan,  harus di pertimbangkan, seperti yang telah di terangkan pada pembicaraan patogenesis CoVID-19 di depan.  Badai sitokin tidak terjadi pada COVID-19. Tetapi pada DBD lah terjadi badai sitokin itu. Karena itu kortikosteroid yang diberikan adalah dengan dosis besar (immunosupresssan) (http://renungan-tmudwal.com/pengaruh-cina-dalam-patogenesis-diagnosa-dan-terapi-covid-19/).

Pada kasus ke-2, dengan adanya panas dan trombosit yang turun, maka diagnosis awal, seyogyanya adalah Dengue infection. Tetap negatif nya serologi Dengue pada hari ke-7, tidaklah menggugurkan diagnosis Dengue infection. Sedangkan NS I antigen Dengue pada hari ke-7 dapat dipastikan akan negatif. Karena NS1 antigen positif pada hari ke0 atau ke1 sakit sebelum virus Dengue itu ditangkap oleh antibody. Pada infeksi primer dari Dengue infection maka IgM dapat negatif pada hari ke-7, tetapi IgG dapat positif setelah hari ke-14 keatas.

Dengan demikian membuat seseorang menjadi PDP dengan alasan GGO +, tidak dapat di terima. Karena GGO dapat juga di sebabkan oleh infeksi Dengue seperti yang telah di terangkan di atas.

Untuk kasus ke-3

Dengan melihat kenyataan bahwa 70-80% kasus Dengue di dunia adalah sumbangan dari negara-negara yang berada di wilayah Asia Tenggara (terutama Indonesia), maka sudah sepantasnya setiap pasien panas di pikirkan terlebih dahulu pasien tersebut adalah Dengue infection. Karena itu sudah seharusnya bila pasien yang datang itu di periksa tes bendungan (Rumple Leed). Bila Rumple Leed negatif di satu tangan, coba lagi tes bendungan tersebut di tangan sebelah. Bila rumple leed positif, maka kemungkinan infeksi Dengue sebagai penyebabnya adalah sangat mungkin. Di rumah sakit pun tes bendungan tersebut harus dilakukan. Adanya limpopenia, ALC < 15% dari total leukosit, N/L Ratio 5,14 ( > 3,13), gambaran GGO pada CT scan, dapat terjadi pada macam-macam virus termasuk juga virus Dengue. Serologi Dengue (Dengue Blot), seyogyanya di cek. Seperti telah di terangkan di depan, pada infeksi primer IgM bisa negatif pada hari ke-5, tetapi IgG bisa positif pada hari ke 14. Atau sangat sulit menyingkirkan adanya diangnosis infeksi Dengue pada pasien panas, di Asia Tenggara terutama iIndonesia. Infeksi Dengue tidak harus trombositopenia, karena adanya fenomena gunung es dari Infeksi Dengue. Sehingga diagnosis Probable Dengue dapat ditegakkan walaupun tanpa trombositopenia. Lekopenia pun tidak harus ada. Tapi bila di dapatkan pasien panas dengan leukopenia dan limpopenia maka infeksi mikrobanya 100% adalah virus. Dan untuk Indonesia kemungkinan besar adalah virus Dengue. Jakarta pada saat ini bukan patokan untuk mengatakan orang tersebut kemungkinan besar terinfeksi CoVID-19. Karena dapat di katakan semua kota di Jawa telah ada transmisi lokalnya.

Indonesia mempunyai virus Dengue terbanyak di dunia tapi pada saat ini juga mengalami pandemik CoVID-19, seperti belahan dunia lainnya. Berdasarkan apa yang telah di terangkan di depan hanya 1 hal yang membuat diagnosis CoVID-19 menjadi kuat. Yaitu pasien yang tidak sesak waktu awal dirawat, kemudian menjadi sesak pada hari-hari perawatan berikutnya. Disitulah perlu thorax foto ulang atau CT scan ulang untuk melihat GGO. Bila gambaran GGO (+) maka pembahasannya sama seperti pada kasus nomor 1.

Dengan apa yang telah di tuliskan di atas, kematian orang-orang muda di Indonesia (< 50 tahun), yang di katakan oleh karena CoVID-19, harus di kritisi secara sungguh-sungguh. Kemungkinan kematiannya, oleh karena adanya infeksi Dengue atau kombinasi infeksi Dengue dengan SARS-CoV-2, sangat mungkin terjadi. WHO memperkirakan jumlah infeksi Dengue di Indonesia adalah 2% dari total penduduk Indonesia (5.400.000 orang/Indonesian Potential Dengue Infection).

Hal lain yang menyebabkan orang-orang muda mendapatkan kematian bila terinfeksi CoVID-19, adalah bila orang tersebut menderita penyakit asma. Bila dia pada saat terinfeksi CoVID-19 itu, sedang menderita serangan asma, maka serangan yang terjadi akan sangat berat. Hipersekresi mukous akan sangat massif dan kental. Bronkokonstriksi akan sangat hebat. Ventilator tidak berguna bila terjadi hal seperti itu. Intubasi perlu segera di lakukan. PPOK pada orang tua (>70 tahun), dapat pula menyebabkan kematian yang cepat bila terinfeksi CoVID-19.

Terapi dari CoVID-19

Belum ada data yang meyakinkan dalam tes secara double blind trial suatu obat untuk SARS-CoV-2. Karena itu pengobatan CoVID-19 hanyalah supportif. Terlebih lagi bila kita melihat fakta bahwa 95% gejala klinis yang terjadi adalah ringan. Yang perlu di perhatikan secara komprehensif dan terukur, adalah bila CoVID-19 terjadi bersamaan dengan penyakin infeksi lainnya atau penyakit kronis lainnya. Terapi plasmapheresis dari orang-orang yang mempunyai kekebalan terhadap SARS-CoV-2, mungkin berhasil baik bila diberikan pada pasien COVID-19 dengan pneumonia.

Untuk orang-orang muda tanpa defisiensi imun, terapi dalam serangan asma akut benar-benar harus agresif. Intubasi kalau perlu segera di lakukan. Untuk Asia Tenggara, mixeded infection dengan infeksi Dengue, harus dipikirikan. Pemberian cairan yang adekuat dan terapi kortikosteroid dosis imunosupresan harus segera di berikan secepatnya. Pada orang-orang tua penatalaksanaan obstruksi bronkus akibat PPOK juga harus mendapat perhatian cepat dan serius. Begitu juga dengan penyakit-penyakit kronis lainnya seperti Diabetes mellitus, Hipertensi, penyakit jantung dsb.

Kesimpulan dan Renungan dari artikel Pengaruh Cina Dalam Patogenesis, Diagnosa dan Terapi COVID-19.

Adalah tidak dapat di bantah bahwa telah terjadi pandemik dari CoVID-19 di atas dunia ini. Bagi orang-orang yang mengamati penyakit ini secara serius dari awalnya maka akan timbul pertanyaan-pertanyaan.

Bagaimana virus corona ini, dapat timbul secara masif di Wuhan dan menyebar serta menginfeksi seluruh manusia di dunia ini dengan cepat?

Menjadi pertanyaan, bahwa dasar patogenesis dibuat sedemikian kacau menyalahi text book standar dalam masalah infeksi virus?

Menjadi pertanyaan, bahwa para pakar kedokteran sedunia mengamini saja, cara berfikir patogenesis yang seperti itu?

Menjadi pertanyaan, kenapa CoVID-19 ini sangat terlihat horor sedemikian rupa, betapapun fakta menunjukkan bahwa yang menimbulkan gejala berat hanya 5% saja?

Para dokter sedunia, dipaksa untuk berfikir seperti yang di inginkan oleh para Maha Dewa yang menguasai dunia ini. Maha Dewa yang memerintahkan WHO, supaya semua penyakit dapat di diagnosis sebagai CoVID-19. Begitupun dengan kematian dari segala macam penyakit. Semuanya harus di arahkan karena CoVID-19 (The Thousand Faces Disease)

Menjadi pertanyaan mengapa semua negara di dunia ini bersedia melakukan lockdown berbulan-bulan di negaranya. Betapapun itu menyengsarakan rakyatnya dan membuat negaranya bertambah miskin. Horor sistemik yang dibuat oleh para maha Dewa, telah menyebabkan seluruh negara di dunia ini berusaha keras untuk mendapatkan orang-orang dengan SARS-CoV-2 positif dari puluhan juta, bahkan ratusan juta rakyatnya. Tidak peduli berapapun uang yang akan dihabiskan. Seharusnya para pemimpin negara sedunia tetap dalam kesadaran penuh, bahwa bukan ISPA akibat COVID-19 yang harus ditakuti. Yang harus ditakuti adalah bila rakyatnya banyak menderita penyakit Diabetes Mellitus, hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, penyakit hati, dan defisiensi gizi. Memberantas defisiensi gizi akibat kelaparan dan kesulitan ekonomi, itulah tujuan utama seorang kepala negara. Bukan menghabiskan uang dengan mencari-cari orang dengan COVID-19, yang hampir semuanya memberikan gejala ISPA saja (batuk, pilek, radang tenggorok dan sesak ringan).

Terima kasih saya untuk dr. Mukovits dari Amerika Serikat dan dr. Ericson dari Swedia yang telah banyak memberikan data tentang adanya pemaksaan pada dokter-dokter di Eropa dan Amerika Serikat untuk mendiagnosis pasien yang sakit atau mati karena apapun sebagai CoVID-19. Begitu juga terima kasih pada senator Italia Vittorio Sgarbi yang membeberkan fakta bahwa banyaknya kematian di Italia bukanlah oleh karena CoVID-19, tapi oleh karena penyakit-penyakit lainnya. Dengan keterangan-keterangan dari mereka itu, dan patuhnya para dokter sedunia untuk mengikuti ajaran the thousand faces disease of COVID-19 maka jumlah orang-orang yang terinfeksi COVID-19, dan kematian yang diakibatkan oleh penyakit tersebut seperti yang dilaporkan dunia ini, tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tuduhan melakukan tindakan kriminal dalam pengadilan Allooh Tuhan Semesta Alam di hari kemudian adalah pasti.

Pada pandangan saya pembentukan Tata Dunia baru (The New World Order), sedang dalam proses. Cina akan jadi penguasa dunia, menggantikan AS. Betapapun para pemimpin Cina itu tetap berada dalam kontrol dari para Maha Dewa. Trump, betapapun setuju dengan vaksinasi CoVID-19, tetapi keinginannya untuk membuka lockdown secepat mungkin di AS adalah bertentangan dengan kehendak para Maha Dewa. Maka mungkin dia akan cepat di kirim ke langit atau kalah dalam pemilihan presiden. Ketakutan akan hal itulah kemungkinan yang menyebabkan Trump akhirnya setuju, untuk memenjarakan rakyatnya sampai bulan September nanti.

Pada akhirnya pesan keilmuan kepada para dokter di seluruh dunia adalah patogenesis CoVID-19 bukanlah karena reseptor ACE 2 yang memudahkan SARS-CoV-2 masuk kedalam sel-sel seluruh tubuh. Sehingga setiap kerusakan yang terjadi pada seluruh organ-organ tubuh dapat di anggap oleh karena infeksi SARS-CoV-2 (terjadinya badai sitokin). Tulisan saya tentang patogenesis di depan telah membantah adanya badai sitokin tersebut. SARS-CoV-2 adalah virus yang lemah. Kelebihannya hanyalah kemampuan yang sangat cepat untuk menginfeksi manusia seperti halnya penyakit flu oleh karena haemophilus influenzae.

Tidak ada antibodi yang dapat mencegah virus SARS-CoV-2 ini untuk menyebabkan terjadinya radang tenggorokan berkali-kali pada manusia. Sebab sel targetnya adalah sel goblet. Dengan demikian vaksin yang telah di siapkan oleh para Maha Dewa dunia ini, tidak berguna. CoVID-19 akan terus ada di dunia ini seperti penyakit flu akibat haemophilus influenzae.

Dengan dasar bahwa virus ini adalah virus yang lemah, maka diagnosis suatu penyakit, tetap harus berpatokan kaedah-kaedah yang ada pada ilmu kedokteran. Over diagnosis oleh karena ketakutan pada CoVID-19, tidak dapat di terima dan kriminal di hadapan Tuhan Semesta Alam.  Menakut-nakuti dengan menyatakan bahwa SARS-CoV-2 pada tiap negara mempunyai strain atau spesifitas sendiri-sendiri, adalah cerita film horor. Apapun mutasinya, COVID-19 tetap hanya penyakit ISPA saja. Dan sel targetnya adalah sel goblet.

Pemeriksaan rapid test sebagai screening untuk mencari COVID-19 adalah tidak berguna. Memaksa untuk melakukan isolasi selama 2 minggu pada orang-orang dengan rapid test positif adalah suatu perbuatan kriminal. Begitu juga bila tidak mengizinkan seseorang dengan swab tenggorok (RT-PCR) positif memeriksa lagi swab tenggorokannya kembali sebelum 14 hari. Bila swab tenggorok negatif maka orang tersebut harus dibebaskan dari isolasi. Swab tenggorok positif tidak harus negatif sebanyak 2 kali sebagai dasar orang tersebut dapat isolasi mandiri di rumahnya. Memaksa orang-orang dengan swab tenggorok yang telah negatif 1 x untuk diperiksa swab tenggoroknya lagi sehingga tercapai kenegatifan 2x adalah suatu hal yang kriminal. Begitu juga bila orang-orang yang telah swab tenggoroknya negatif tersebut dipaksa untuk isolasi mandiri lagi selama 2 minggu di rumahnya.

Termasuk kriminal adalah menguburkan mayat COVID-19, secara procedural COVID-19, yaitu dibungkus plastik dan dimasukkan peti. Lebih kriminal lagi bila mayat itu belum tentu COVID-19 tetapi hanya ODP/PDP saja. Yang paling criminal adalah menguburkan orang-orang yang mati karena kecelakaan di zona merah COVID-19 dengan prosedur COVID-19. Kriminal karena secara keilmuan, jenazah dari orang-orang yang terinfeksi COVID-19 dapat dianggap tidak mungkin untuk menularkan COVID-19 (http://renungan-tmudwal.com/tinjauan-terhadap-cara-penularan-covid-19-usaha-untuk-menghilangkan-kepanikan-dunia/).

Pengulangan thorax foto atau pemeriksaan CT scan harus berdasarkan alasan yang kuat yaitu pada pasien panas dengan keluhan nafas yang bertambah sesak ketika dalam perawatan.

Klorokuin atau anti virus lainnya seperti remdesivir dan yang lainnya belum memenuhi standar ilmiah untuk dapat di pakai sebagai obat pembunuh SARS-CoV-2. Terapi suportif dan obat-obat lainnya untuk peningkatan daya tahan tubuh seseorang adalah obat yang sebenarnya, sambil menunggu penelitian lebih lanjut dari obat-obat untuk membunuh SARS-CoV-2.

Yang wajib di ingat oleh para kepala negara yang melakukan lockdown pada rakyatknya bahwa diam dirumah terlalu lama (lebih dari 1 bulan) justru akan menurunkan imunitas dari rakyatnya. Sehingga setelah lockdown dibuka, orang-orang tersebut justru akan lebih mudah terinfeksi, bukan saja oleh CoVID-19 tetapi juga oleh virus dan bakteri-bakteri lainnya. Radang tenggorokan akibat COVID-19, akan tetap ada sampai datangnya hari kiamat. Memerdekakan rakyat setelah dipenjara satu bulan (untuk meng-counter situasi pandemik COVID-19) adalah solusi terbaik dipandang dari sudut apapun.

Yasin: 60

Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu”,

Semoga Allooh SWT memenangkan kami orang-orang yang berjihad melawan para Penguasa Gelap tersebut.

Semoga Bermanfaat.

Catatan:

Ucapan terima kasih kepada Tuswandi Ahmad Waly atas diskusi dan translasinya kedalam Bahasa Inggris