Kerumunan Sungai Gangga, Nilai CT RT-PCR dan Mutasi Virus SARS COV 2 (Out of Box Thinking)

Bismillahirrohmaanirrohiim

Kerumunan Sungai Gangga, Nilai CT RT-PCR dan Mutasi Virus SARS COV 2

(Out of Box Thinking)

dr. Taufiq Muhibbuddin Waly, Sp.PD

Berkerumun, adalah suatu hal yang perlu dilakukan oleh setiap manusia untuk tetap sehat dan bertambah kecerdasannya. Bahkan, bagi para pemeluk agama, ada waktu-waktu, untuk melakukan kerumunan dalam jumlah besar. Seperti Islam dengan berkerumun di Ka’bah. Kristen dengan berkerumun di Basilica Santo Petrus Vatikan. Buddha dengan berkerumun di Candi Borobudur Indonesia, dan sebagainya.

Tetapi sejak satu setengah tahun dunia dilanda COVID-19, berkerumun dilarang. Karena akan menularkan COVID-19 dan meningkatkan jumlah kematian. Apa yang terjadi di India, menjadi bukti nyata, berbahayanya berkerumun itu. Tidak kurang dari 3,5 juta orang telah berkerumun di Sungai Gangga India pada tanggal 10-14 April itu (1,2).  

India dengan jumlah penduduk 1.295.210.000, hampir menjadi model dari negara-negara di dunia dalam menghadapi masalah COVID-19. Pada tanggal 16 September 2020, India mencapai jumlah kematian tertinggi akibat COVID-19 yaitu, 1.139 orang sehari. Dan pada tanggal itu pula jumlah kasus barunya, mencapai rekor tertinggi yaitu 97.589 orang. Dan secara luar biasa India pada bulan Februari 2021. tepatnya pada tanggal 2 Februari 2021 telah menurunkan kasus kematian akibat COVID-19 menjadi hanya 113 orang saja sehari. Dan kasus barunya menjadi 11.000 orang saja sehari. Namun demikian, setelah perayaan di Sungai Gangga tersebut yaitu, pada tanggal 6 Mei 2021, India mencetak rekor dunia untuk kasus barunya, yaitu 414.336 orang dalam sehari. Dan pada tanggal 18 Mei, mencetak rekor dunia, dalam kasus kematian akibat COVID-19, yaitu 4.525 orang sehari.

Sampai dengan tanggal 23 Mei 2021, jumlah total kasus COVID-19 di India adalah 26.718.108 orang. Padahal, sampai dengan satu hari sebelum perayaan Kumbh Mela di sungai Gangga itu (9 April 2021), jumlah total kasusnya hanya 13.202.783 orang. Atau meningkat lebih 100% setelah perayaan Kumbh Mela tersebut.

WHO dan para ahli kesehatan dunia menuding, kerumunan besar di Sungai Gangga itulah sebagai biang kerok terjadinya peningkatan yang pesat itu. Atau dunia, harus belajar dari efek kerumunan besar seperti itu. Termasuk disitu mudik saat lebaran. Mudik lebaran, yang dilakukan oleh pemeluk agama Islam di negara dengan mayoritas Islam, seperti Indonesia, Pakistan, dan Bangladesh tidak dapat dipungkiri adalah suatu kerumunan besar. Maka wajar apabila pemerintah melarang aktivitas mudik tersebut. Dan karena masih banyak juga yang mudik, maka tracing dan testing COVID-19, harus digalakkan demi mencegah tingginya kasus dan kematian akibat COVID-19.

Pertanyaanya adalah apakah berkerumun saat ini memang berbahaya atau tidak? Apakah anjuran WHO itu harus diikuti?

Terjadi pergolakkan pemikiran pada seluruh manusia beriman di bumi ini akibat kasus Gangga tersebut. Bila kita telusuri Google, maka kita akan mendapat jawaban dari orang-orang yang menghadiri perayaan tersebut. Mereka mengatakan akan sangat menyesal, bila tidak menghandiri perayaan yang hanya berlangsung 12 tahun  sekali itu. Mereka pun meyakini bahwa Dewi Gangga akan melindungi mereka dari serangan COVID-19 dan penyakit-penyakit lainya. Karena mereka telah bersih dari dosa-dosa akibat mandi di Sungai Gangga tersebut. Demikian pula halnya bagi umat Islam. Bila pemerintah Saudi Arabia membebaskan untuk pergi haji ke Mekkah, diyakini bahwa jutaan umat Islam akan pergi haji ke Mekkah. Mereka tidak takut terkena serangan COVID-19 dan penyakit-penyakit lainya. Karena mereka yakin bahwa Allooh akan melindungi mereka, disebabkan telah bersih dari dosa-dosa.

Pola pikir yang lebih didominasi keyakinan,  bahwa berkerumun demi memuja Dewa atau Allooh pasti akan diselamatkan, tidak dapat diterima oleh orang-orang yang biasa berpikir. Iman dan akal pikiran, atau sains harus berjalan seiring. Atau saling menguatkan. Iman tanpa diperkuat oleh sains akan dimurkai oleh Tuhan yang sangat jenius. Sebaliknya sains atau berpikir tanpa ada keimanan sama sekali kepada Tuhan juga akan dimurkai oleh Tuhan. Karena cinta pada diri sendiri dan dunia lebih diutamakan ketimbang cinta kepada Allooh atau Dewa. Mereka mengikuti sains atau  aturan dunia 100% tanpa kegelisahan sama sekali.

Seseorang yang biasa berpikir, cerdas, beriman dan berilmu pengetahuan yang luas pada hemat saya, akan mengevaluasi sains atau aturan dunia terlebih dahulu ketimbang merubah aturan-aturan Tuhan. Aturan Tuhan tidak dapat diubah, oleh karena Tuhan tidak dapat diajak bicara. Apakah Dia setuju dengan perubahan aturan-Nya itu ataukah tidak. Dengan dasar itu, bila sains atau aturan dunia memang benar secara keilmuan dapat menyelamatkan manusia, maka ada alasan kepada Tuhan untuk mengubah aturan-aturan-Nya. Tetapi, bila sains atau aturan dunia itu diragukan kebenarannya bahkan salah secara keilmuan, maka aturan Tuhan lah yang diikuti tanpa kompromi sedikitpun.

Apakah COVID-19, adalah penyakit yang berbahaya bahkan bisa mematikan?

            WHO mengatakan bahwa COVID-19, adalah penyakit yang berbahaya bahkan bisa mematikan. Tapi anehnya kematian akibat COVID-19 rata-rata dalam setahun terakhir ini hanyalah 2,1% saja (kematian pada 1 Mei 2020 s/d 1 Mei 2021 adalah 3.173.576, dan jumlah total kasus COVID-19 adalah 150.989.199 pada tanggal 23 Mei 2021 (COVID-19 pandemik deaths – Wikipedia).

                Angka 2,1 % yang dilaporkan tersebut dipastikan adalah angka dari rumah sakit rumah sakit di seluruh dunia. Atau para dokterlah yang mendiagnosa seseorang mati karena COVID-19.

            Makin banyak yang masuk ke rumah sakit dengan testing COVID-19 + maka makin banyak kematian di rumah sakit akibat COVID-19. Pasien yang masuk ke rumah sakit dengan testing + itu bisa oleh karena tracing yang di lakukan di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit, ketika masuk IGD.

            Seyogyanya dokter sebagai klinisi, terlebih lagi seorang internist harus mengevaluasi secara sungguh-sungguh, bagaimanakah patonegesis dan patofisiologi dari COVID-19. Atau dalam bahasa awam adalah bagaimana sebab akibat infeksi virus SARS-COV 2 itu. Disebabkan masuknya virus tersebut,  apakah akan mengakibatkan kerusakan organ-organ?

            Perbedaan mendasar  antara saya dengan internist lainnya adalah masalah apakah harus di tentukan dulu dimana sel target dari virus SARS-COV-2 itu ataukah tidak?. Bagi saya sel target dari virus SARS-COV-2 harus di tentukan terlebih dahulu. Sedangkan internist lainnya tidak mempermasalahkan itu. Mereka hanya memakai patokan, SARS-COV-2 berikatan dengan ACE2, Dan akibatnya  SARS COV 2 dapat masuk ke organ-organ manusia yang mempunyai ACE2 pada permukaan membran selnya. Mereka mengatakan ACE2 adalah reseptor dari SARS-COV-2.

            Penyuntikan pada tikus yang dilakukan oleh Linlin Bao dkk membuktikan hal tersebut(3).  Dimana Linlin Bao dkk mendapatkan hasil bahwa SARS-COV-2 memang dapat masuk ke sel-sel jaringan paru, ginjal, intestinal,  myocardium, cerebral dan testis. Akibat  hal tersebut maka pada COVID-19 mudah terjadi badai sitokin. Tidak kurang 25 sitokin dapat keluar akibat SARS-COV-2, seperti yang dilaporkan Chaolin Huang dkk(4).

            Saya sendiri berpendapat bahwa enzim ACE 2, memang bertindak sebagai reseptor , sehingga SARS-COV-2 dapat masuk ke macan-macan sel dari organ-organ kita. Tapi sesuai dengan text boot allergy Immunology setiap virus mempunyai sifat tropismus. Atau keharusan untuk masuk dalam sel tertentu supaya dia bisa hidup. Dan sel yang memberikan kehidupan pada virus tersebut, itulah yang disebut dengan sel target. Dan itu disebut sifat permissif dari sel tersebut terhadap virus(5).

            Pada pandangan saya ACE2 layaknya adalah satpam dari komplek perumahan. Semua rumah bisa dimasuki oleh virus SARS COV 2 tersebut karena dibolehkan oleh satpam. Tetapi virus tersebut hanya dapat hidup pada rumah yang menyediakan apa-apa yang di inginkanya. Itulah sel target dari virus.

            Dan setelah membaca jurnal-jurnal, saya mengambil kesimpulan bahwa sel target dari virus SARS COV 2 adalah sel Goblet di saluran nafas bagian atas. Hal tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan Waradon Sungnak dkk(6). Dimana mereka mendapatkan bahwa pada epitel Nasal didapatkan ACE2, sel-sel innate dan mikro organisme yang menyerupai SARS COV 2 Wuhan. Sedangkan peneliti lain yang menyatakan bahwa sel target dari virus SARS COV 2, adalah pada sel-sel disaluran nafas bagian bawah (Hamming, Soeren Lukassen, Mason saya tolak (7,8,9). Karena mereka tidak melaporkan banyaknya sel innate yang terkumpul disitu. Banyak berkumpulnya sel innate di sel goblet saluran nafas bagian atas menunjukkan terjadinya reaksi immunologis aktif dalam melawan SARS COV 2. Hal itu menunjukan bahwa di sel Goblet saluran nafas bagian atas lah virus SARS COV 2 berkumpul. Atau sel Goblet di saluran nafas bagian atas adalah sel target dari virus SARS COV 2.

            Dengan dasar bahwa sel target SARS COV 2 berada disaluran nafas bagian atas, maka sulit untuk terjadinya badai sitokin. Karena hampir semua virus telah di hancurkan di saluran nafas bagian atas. Atau hanya sedikit, yang dapat sampai ke paru, apalagi sampai menembus darah dan masuk pada berbagai macam sel dari organ-organ. Lain halnya dengan SARS COV 1 (penyebab SARS dan MERS COV (penyebab MERS)). Sel target virus-virus tersebut berada pada saluran nafas bagian bawah yaitu pada sel pneumokist 2, yang berbatasan langsung dengan alveolus. Sesak nafas berat atau ARDS akan mudah terjadi.

            Dengan sulitnya virus SARS COV 2 masuk ke paru-paru dan sirkuliasi darah, maka gejala klinik yang terjadi hanyalah flu saja. Karena itu wajar bila pasien HIV pun sanggup bertahan atas serangan COVID-19(10).

            Dengan dasar itu semua, kematian yang di katakan oleh karena COVID-19 tidak dapat diterima. Termasuk kematian pada orang-orang tua atau orang-orang yang telah melewati life expectancynya. Pada orang-orang seperti itu, kematian akibat penyakit kronik yang di deritanya, lebih pantas dikatakan sebagai penyebab kematiannya ketimbang COVID-19. Betapapun swab tenggorokannya positif SARS COV 2.

            Tidak adanya laporan dari meningkatnya macam-macam komplemen dan komplek imun yang tersebar luas di sirkulasi menambah kepastian bahwa badai sitokin tidak terjadi pada COVID-19 yang di tularkan melalui droplet infection itu.

            Bila ditemukan SARS COV 2 pada feses atau organ lainnya seperti paru, cairan otak, jantung dan sebagainya, bukanlah berarti bahwa SARS COV 2 dapat dengan mudah masuk kedalam organ-organ tersebut. atau menunjukkan bahwa tidak perlu sel target dari virus SARS COV 2 dalam masalah patogenesis COVID-19 (yang penting adalah adanya reseptor ACE2 pada permukaan membran sel dari macam-macam organ tersebut).

            SARS COV 2 sulit untuk lepas dari hantaman imunitas kita di saluran nafas bagian atas. Tetapi bila ada yang lepas maka SARS COV 2 dapat di temukan pada macam-macam organ termasuk saluran pencernaan. Tapi jumlahnya sangat kecil sekali. Hal itu dengan mudah akan dapat di atasi oleh sel NK dan sel limposit T sitotoksik kita.

            Lain halnya bila SARS COV 2 langsung masuk kedalam darah misalnya melalui suntikan atau vaksinasi (seperti yang dilakukan Linlin Bao pada saat menyuntikkan SARS COV 2 pada tubuh tikus). Maka SARS COV 2 dapat masuk ke seluruh organ yang ada ACE2 pada permukaan membran selnya.  Bila terjadi hal seperti itu, baru kemungkinan badai sitokin dapat terjadi. Dengan pengertian seperti itu, efek samping akut atau kronik akibat penyuntikan SARS COV 2 atau vaksinasi COVID-19 mungkin saja terjadi. Kematian akan dipercepat pada orang-orang yang mempunyai komorbid. Kemandulan pun dapat saja terjadi.

            Vaksinasi COVID-19, juga tidak dapat mencegah re-infeksi COVID-19, yang di tularkan melalui droplet infection itu. Sebab antibodi yang dihasilkan melalui suntikan vaksinasi itu, tidak dapat menghancurkan virus SARS COV 2 yang berada disaluran nafas bagian atas. Yang dapat menghancurkan virus SARS COV 2 disaluran nafas bagian atas itu adalah sistim imunitas dari saluran nafas bagian atas itu sendiri. Yaitu sIgA dari sel goblet dan NALT (Nose Activated Limphoid Tissue) dan MALT (Mucosa Activated Limphoid Tissue).(11)

            Dengan apa yang dituliskan diatas dapat dimengerti kenapa 97,9% manusia yang terinfeksi COVID-19 hanya memberikan gejala ringan saja. Atau setingkat flu. Kematian yang terjadi adalah akibat diagnosis dokter yang menuliskan diagnosis COVID-19 tersebut. Kepatuhan mutlak untuk mengikuti teori badai sitokin seperti yang di ajarkan oleh WHO adalah penyebabnya. Termasuk disitu kepatuhan mutlak untuk mengobati pasien COVID-19 berdasar petunjuk WHO. Obat obat tersebut dapat saja memperburuk kesehatan pasien yang mempunyai penyakit selain COVID-19.

            Untuk lebih memperlengkap tulisan saya tentang COVID-19 maka dapat di baca pada artikel saya yang berjudul “Klinisi Dicucuk Hidungnya? (Bangkitlah Internist Sedunia)” (http://dhf-revolutionafankelijkheid.net/artikel-64-klinisi-dicucuk-hidungnya-bangkitlah-internist-sedunia/) dan “COVID-19: AZAB ALLOOH PADA DUNIA ATAU DUNIA MENGAZAB DIRINYA SENDIRI (Suatu Diskusi Dengan Jurnal-Jurnal Internasional)”(http://dhf-revolutionafankelijkheid.net/COVID-19-azab-allooh-pada-dunia-atau-dunia-mengazab-dirinya-sendiri/).

            Bagaimana dengan mutasi virus dari SARS COV Wuhan? Apakah COVID-19 akan berubah dari penyakit setingkat flu, menjadi penyakit yang berbahaya?.

            Dunia melaporkan adanya mutasi SARS COV 2 Wuhan , menjadi bermacam-macam. Tapi banyak yang belum diketahui, apa efek dari bermutasinya virus SARS COV 2 Wuhan tersebut. Yang banyak diketahui adalah varian virus, yang WHO masukan dalam Variants of Concern (VOC). Berdasarkan WHO April 2021, yang dimasukan dalam VOC adalah virus Inggris (B.1.1.7), virus Afrika selatan (B.1.351), virus Brazil / Jepang (P1/B.1.1.28)(12). Tetapi pada tanggal 11 Mei 2021 WHO memasukan virus India (B.1.167) sebagai VOC juga (13)

            Virus-virus mutasi yang tergolong dalam VOC itu belum banyak diketahui efek dari mutasinya. Perkiraan efek dari mutasinya barulah pada virus Inggris, virus India dan virus Afrika Selatan. Tetapi penelitian yang banyak dilakukan hanyalah pada virus Inggris (B.1.1.7).

            Secara umum dikatakan efek utama dari mutasi virus-virus tersebut adalah lebih infeksius atau lebih cepat menular dan lebih berbahaya ketimbang virus SARS COV 2 Wuhan. Lebih berbahaya, karena dikatakan meningkatkan kematian atau risiko keparahan penyakit. Bahkan dikatakan dapat mengurangi kemanjuran antibodi atau menghindari sistem kekebalan tubuh.

            Walaupun demikian secara kenyatan penelitian yang banyak dilakukan adalah hanya pada virus Inggris (B.1.1.7). Berdasarkan penelitian, virus Inggris lebih cepat menular ketimbang virus Wuhan. Seperti yang dilaporkan oleh Erick Volz dkk. Mereka mengatakan kecepatan pertumbuhan virus Inggris 1,4 – 1,8 kali dibanding virus Wuhan (14)

            Dilain pihak ada artikel yang mengatakan bahwa mulai banyaknya orang-orang di Inggris selatan yang dikatakan terkena COVID-19 karena Virus Inggris tidaklah sama dengan mengatakan bahwa virus Inggris itu memang mempunyai penularan yang lebih cepat ketimbang virus Wuhan. Perlu penelitian dan investigasi lebih lanjut untuk mengatakan bahwa meningkatnya kasus COVID-19 di Inggris selatan disebabkan oleh Virus Inggris (B.1.1.7) (15). Itu berarti mereka meragukan hasil penelitian Erick Volz.

            Sedangkan European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC) mengatakan bahwa varian Inggris itu, memang cepat menular dan menyebabkan tingkat perawatan di rumah sakit dan kematian meningkat. Tetapi itu terutama terjadi pada orang-orang tua atau mereka yang mempunyai macam-macam komorbid (16). Sedangkan Public Health England dalam technical briefing 3, mengakui bahwa transmisi dari virus Inggris, memang lebih tinggi dari virus Wuhan. Tetapi itu hanya 11-15% saja (17). Pada briefing 2, mereka juga mengatakan bahwa tidak ada perbedaan statistik yang bermakna antara virus Inggris dengan virus Wuhan derajat berat dalam masalah banyaknya orang yang dirawat dan kematian setelah 28 hari perawatan(18)

            Penelitian yang dapat dikatakan sempurna (matching dan jumlah sampelnya banyak) dilakukan oleh Robert Challen. Mereka membandingkan 54.906 pasien COVID-19 dengan VOC dan 54.906 non VOC. Pada hemat penulis VOC utama yang terdapat pada penelitian tersebut adalah virus Inggris ( B1.1.7) dan non VOC adalah Virus Wuhan(19). Mereka mendapat hasil bahwa pada golongan virus VOC terdapat 227 kematian dari 54.906 orang (0,41%). Sedangkan pada golongan non VOC didapatkan kematian 147 dari 54.906 orang (0,25%). Atau kemungkinan risiko kematian pada pasien COVID-19, bila terinfeksi Virus VOC (dalam hal ini Virus Inggris) adalah 1,64 kali lebih tinggi ketimbang virus non VOC (dalam hal ini Virus Wuhan). Atau secara persentase dikatakan pada satu artikel bahwa risiko kematian bila terinfeksi Virus Inggris 64% lebih tinggi untuk menyebabkan kematian ketimbang virus Wuhan (20). Ini bukan berarti bahwa seseorang yang terkena COVID-19 varian Inggris mempunyai kemungkinan kematian sebanyak 64%. Kemungkinan kematian seseorang yang terdiagnosis COVID-19 dengan penyebabnya adalah virus Inggris, hanyalah 0,41% saja seperti yang didapatkan pada penelitian Robert Challen tersebut. Dan total kematian pada pasien COVID-19 baik oleh karena virus VOC dan non VOC berdasarkan penelitian Robert Challen adalah sangat kecil sekali yaitu hanya 0.33%. Atau adanya virus VOC, dalam hal ini virus Inggris (B.1.1.7) tidak memberikan dampak yang signifikan untuk menyebabkan bertambahnya kematianCOVID-19.

            Virus India (B.1.617) dikatakan mempunyai mutasi ganda yaitu E484Q dan L452R (20) sayangnya belum banyak penelitian yang dilakukan pada virus India ini. Kemungkinan, bisa saja virus ini lebih ganas ketimbang SARS dan MERS. Karena dikatakan kemungkinan virus tipe L452R, dapat resisten terhadap Lymposit T Sitotoksik (21).

            Tetapi kemungkinan tersebut, kelihatannya kecil sekali akan terjadi. Sebab berdasarkan penelitian tidak ada data kasus COVID-19, yang menjadi berat atau mati akibat terinfeksi covid tipe India ini di Eropa bahkan sampai tanggal 7 Mei 2021 (22).

            Kalau kematian akibat virus India (B.1.617) meningkat tajam di India maka itu bukanlah karena virus itu mudah mematikan manusia. Tidak ada data yang komparatif yang dipercaya untuk mengatakan keganasan virus India itu. Kematian COVID-19 dengan etiologi virus India tersebut yang meningkat tajam di India, kemungkinan adalah kombinasi pelayanan kesehatan yang rendah dan banyak orang terinfeksi virus India tersebut (21). Oleh karena itu ECDC masih menganggap virus B.1.617 itu sebagai virus of interest (VOI). Bukan Variants of Concern (VOC) (22).

Virus Afrika Selatan (B.1.351) dan virus Brasil/ Jepang (P1/ P1/B.1.1.28) belum banyak penelitian yang dilakukan pada kedua virus tersebut. Hanya dikatakan bahwa kemungkinan virus ini sangat menular. Dan dikatakan kedua virus itu bisa tidak dapat terdeteksi oleh RT-PCR(23). Selain itu kedua virus VOC itu dikatakan juga mempunyai kemungkinan untuk mengurangi kekuatan antibody neutralizing(24).

            Kesimpulan dari mutasi SARS COV 2 (VOC).

 Tidak ada yang perlu ditakuti dari VOC. Masih perlu penelitian yang lebih banyak lagi. Penelitian yang dilakukan pada saat ini hanyalah pada VOC (B.1.1.7). Bila virus Inggris dianggap mewakili virus-virus VOC lainya, maka didapatkan hasil hasil berlawanan.

Penelitian.kecepatan menularnya masih dipertanyakan. Walaupun ada peningkatan kecepatan penuluran ketimbang SARS COV 2 Wuhan maka persentasenya hanyalah kecil saja yaitu 11-15%. pada pertengahan April 2021 transmisi virus ini di Inggris lebih cepat ketimbang virus-virus mutan VOC lainnya. Bila dikatakan bahwa virus India mempunyai persentase yang lebih tinggi daripada Virus Inggris seperti yang ditunjukan pada pertengahan April di Inggris, maka itu kemungkinan hanya sementara saja oleh karena banyaknya orang-orang India ke Inggris setelah kasus Gangga. Kemungkinan 2-3 bulan kedepan kasus virus Inggris (B117), akan menjadi dominan lagi di Inggris ketimbang virus-virus VOC lainnya.

            Bahkan penelitian yang dikatakan sempurna yang menunjukan bahwa virus B.1.1.7 lebih berbahaya ketimbang virus Wuhan 1,64 kali, masih dipertanyakan. Karena pusat kesehatan Inggris pada briefing 2 menemukan bukti bahwa tidak ada perbedaan statistik antara virus Inggris B.1.1.7 dan virus Wuhan derajat berat dalam banyaknya orang yang dirawat dan kematian 28 hari setelah di rawat.

            Sedangkan kemungkinan bahwa VOC dapat melawan antibodi manusia baru kemungkinan saja. Belum ada penelitian pada manusia.

            Berdasarkan semua yang ditulis diatas, maka virus mutasi adalah sederajat dengan virus non mutasi (virus SARS COV 2 Wuhan) Atau hanya setingkat flu saja.

Hal lain yang perlu di kritisi adalah alat bantu diagnostic RT-PCR. Alat bantu diagnostic RT-PCR mempunyai nilai standar yang disebut Cycle Threshold (CT). T Jefferson bersama koleganya dari Center For Evidence Based Medicine Oxford University, meneliti akurasi dari nilai CT tersebut. (25)

            Mereka mendapatkan bahwa kepastian atau adanya viral load tinggi SARS COV 2, yang dibuktikan dengan isolasi virus, hanya bila CT < 24. Sedangkan kepastian tidak adanya virus, yang dibuktikan dengan tidak adanya virus yang tumbuh setelah di isolasi, bila nilai CT nya > 34. Bila nilai CT > 30, mereka mengatakan sebagai non infectious sample. Atau bisa berarti, viral load kecil sekali. Atau orang tersebut sudah tidak menularkan virus SARS COV 2 lagi.

            Dengan dasar penelitian itu, tes yang pantas dilakukan untuk diagnosis COVID-19 adalah bila CT 24 – 30, bila orang tersebut bergejala ringan-sedang. Bila berat, seyogyanya nilai CT < 24 dan bila tanpa gejala CT > 30. Dengan demikian, orang tanpa gejala dengan CT >30 pada hemat saya tidak pantas didiagnosis COVID-19. Seharusnya orang seperti itu baru dapat dipikirkan adanya COVID-19 bila CT < 24. Di lain pihak, WHO pada Desember 2020 mengatakan orang dengan gejala asimptomatik dan rapid antigen positif corona dapat didiagnosis kasus suspek  SARS-CoV-2(26). Suatu hal yang menurut saya tidak rasional. Rapid antigen tidak spesifik untuk SARS COV 2. Bermacam-macam virus Corona bisa memberikan hasil positif pada pemeriksaan rapid antigen.

Hal lain ialah bila jenazah ingin dikuburkan secara protokol COVID-19, maka sepantasnya CT < 24. Karena sampai saat ini penularan yang dipastikan dapat menginfeksi manusia adalah melalui droplet infection. (27)

            Betapapun demikian bila kita mendapatkan seseorang dengan gejala klinik ringan (PO2 > 93%) dan nilai CT < 24 maka seorang klinisi seyogyanya berpegang pada klinis, bukan hasil CT dari RT-PCR. Terlebih lagi bila kita setuju pada patogenesis COVID-19 yang telah saya tuliskan diatas. Gejala klinik ringan dengan nilai CT < 24 menunjukkan bahwa memang SARS COV 2 mempunyai tingkat keganasan yang rendah dan dengan mudah imunitas orang tersebut dapat mengatasi infeksi virus. Betapapun viral loadnya secara nilai CT adalah tinggi.

            Salah satu kriteria WHO, untuk mengatakan COVID-19 derajat berat, ialah bila PO2 < 90%(28). Bila kita menemukan orang dengan kriteria tersebut dan nilai CT > 24, maka diagnosis COVID-19 sebagai penyebab sesaknya harus di tolak. Sesaknya orang tersebut, disebabkan penyakit non COVID-19.

Sedangkan bila pada orang tersebut ditemukan nilai CT < 24, maka diagnosis COVID-19 berat dapat ditegakkan. Tapi bila kita percaya pada patogenesis COVID-19, seperti yang telah saya tuliskan di atas, maka diagnosis COVID-19 derajat berat tetap ditolak. Sesaknya orang tersebut, bukan karena COVID-19, tapi oleh karena penyakit lainnya. Betapapun viral load SARS COV 2 nya tinggi. Dengan demikian bila patogenesis COVID-19, seperti yang sudah saya tulisakan diatas, menjadi acuan, maka tracing dan testing, tidak di perlukan. Atau pandemi COVID-19 telah berakhir.

Tapi bila kita tidak setuju dengan apa yang saya katakan, maka tracing dilakukan bila alat testing yang digunakan mempunyai CT < 24. Hal itu untuk menghindari didiagnosisnya orang-orang sehat sebagai penderita COVID-19. Yaitu, orang-orang tanpa gejala flu dan tidak mempunyai virus SARS COV 2. Atau orang dengsn gejala flu tapi bukan disebabkan oleh karena COVID-19. Sehingga pada hemat saya testing dengan CT lebih 24 adalah perbuatan zalim. Karena bisa terjadi, RT-PCR baru negatif pada minggu ke-6. Dan 32,1%nya masih positif, beatapapun sudah 4 minggu, sejak dinyatakan positif(29). Dimasukkannya orang tersebut pada ruang isolasi, menambah kezaliman itu. Kematian dapat terjadi, akibat stress berat di ruang isolasi. Dilakukannya protokol COVID-19 pada jenazah orang tersebut adalah puncak dari kezaliman.

Indonesia pada saat ini memakai nilai CT ≤ 40(30). Sedangkan India  ≤ 35 (31).

Evaluasi masalah berkerumun di sungai Gangga

Bila pada semua pikiran manusia di bumi sudah tertanam, bahwa COVID-19 apalagi mutasinya adalah penyakit yang berbahaya dan supaya terhindari serangan COVID-19 haruslah menjaga jarak, maka berendamnya 3,5 juta orang di sungai Gangga adalah bahan yang baik untuk membuat film horor COVID-19. Film yang akan membuat panik, bukan hanya pemerintah India dan rakyatnya, tetapi juga pada semua pemerintahan dan masyarakat dunia. Goal selanjutnya adalah membuat film baru di suatu negara, dimana berkerumun, dijadikan alasannya. Adanya mudik lebaran, dapat dijadikan film horor COVID-19 baru, di Indonesia, Pakistan, Bangladesh, Malaysia. Dan saat ini film horror tersebut sedang diputar di Malaysia (Malysia sedang melakukan lockdown sejak 1 Juni 2021)

Film horor COVID-19 di India, dimulai dengan mengambil sampel 50 ribu orang dari 3,5 juta orang yang berendam di sungai Gangga itu (1,42%). Dari 50 ribu sampel itu, didapatkan 408 orang positif pada hari Senin 12 April 2021 dan 594 orang positif pada Selasa 13 April 2021 (32) Atau dari 50 ribu sampel itu hanya 2% saja yang positif (1002 orang). Bila angka 2 % itu dijadikan acuan maka dari 3,5 juta orang itu hanya 70.140 orang saja yang positif. atau 3.429.860 orang (97,9%) yang berkerumun di sungai Gangga dalam keadan sehat.

Tetapi jumlah 1002 orang yang positif itu dijadikan bom berita horornya COVID-19, oleh media masa mainstream. Bukan hanya di India, tetapi media masa mainstream di seluruh dunia. Seolah-olah ratusan ribu orang yang berkerumun mandi-mandi di sungai Gangga itu positif COVID-19. Kipasan-kipasan tentang keadaan horor itu terus dilakukan oleh media masa mainstream, dengan mengatakan adanya mutasi virus baru B.1.617, yang lebih menular dan berbahaya ketimbang virus induknya (virus Wuhan). Suatu mutasi virus yang sebenarnya telah ditemukan di India pada bulan Desember 2020. Dan memperoleh momentum untuk berkibar sebagai virus COVID-19 yang berbahaya dan mematikan serta sangat menular setelah kejadian berkerumun di sungai Gangga tersebut. Dan ratusan ribu orang yang mengidap virus tersebut, bergentayangan di seluruh India.

Apa yang diberitakan media masa mainstream itu membuat panik seluruh rakyat India. Terlebih lagi orang-orang yang berkerumun di sungai Gangga itu. Maka terjadilah panik hipoksia. Merasa nafanya menjadi sesak dan mendatangi Rumah Sakit untuk diberikan bantuan oksigen. Hal itu menjadikan India kekurangan tabung oksigen untuk bantuan pernapasan. Maka berbondong-bondonglah negara di dunia memberikan bantuan tabung oksigen, termasuk juga Indonesia.(33).

Akibat pemberitaan media masa dan kepanikan masyarakat itu, pemerintah India dipaksa untuk melakukan pemeriksaan masif kepada rakyatnya. Pada saat India mencapai rekor dunia kasus baru Covid (414.336 orang), yaitu pada tanggal 7 mei 2021 testing yang dilakukan adalah sebanyak 1.808.344. Pada saat India mencapai rekor dunia dalam jumlah kematian COVID-19 ditanggal 18 Mei 2021 (4525 orang sehari), testing yang dilakukan adalah sebanyak 2.055.000. Padahal pada saat India mencapai rekor jumlah kasus baru dan kematian di India pada tanggal 16 september 2020 jumlah testing hanyalah 1.136.613. Sedangkan pada 2 Februari 2021, pada saat India mencapai jumlah terendah kasus baru dan kematian COVID-19 jumlah testing nya sebanyak 721.121. Kesimpulannya, setelah berkerumun di sungai Gangga tracing dan testing mengalami peningkatan pesat. Testing yang dilakukan hampir mencapai jumlah lebih dari 300%, bila dibandingkan sebelum kasus kerumunan di sungai Gangga.

Di yakini bahwa pada saat pemerintah India mengadakan pemriksaan masif COVID-19 pada rakyatnya, maka semua orang yang sesak nafas yang dirawat di Rumah sakit, apapun penyebabnya dilakukan test COVID-19. Begitupun pada semua orang yang demam.

Kriteria WHO yang menyatakan bahwa tidak harus ada demam untuk menyatakan seseorang sebagai suspek COVID-19, mengakibatkan jumlah kasus baru bertambah dengan pesat (26). WHO pun mengajarkan, bahwa seseorang walau tanpa gejala apapun, tapi Rapid Antigen Positif dapat didiagnosis Suspek COVID-19. Peningkatan kasus-kasus baru akibat mengikuti petunjuk WHO secara otomatis meningkatkan kasus baru dan berefek meningkatnya kasus kematian akibat COVID-19.

Selain standart keakuratan diagnosis yang lemah, seperti yang terlihat table WHO India pun memakai nilai CT yang tinggi pada pemeriksaan RT-PCR yaitu  CT ≤35. Padahal seperti yang telah dituliskan didepan nilai CT >30, maka orang tersebut tidak infeksius atau kemungkinan sudah sembuh dari COVID-19. Seyogyanya  India memakai standar CT<24 untuk keakuratan diagnosis COVID-19 dan menghindari perbuatan zalim

Bila orang-orang tua yang telah melewati life expectancynya di India, dikeluarkan dari jumlah kematian, maka kematian akibat COVID-19 dapat berkurang >50%. Life expectancy di India adalah 69,73 tahun (34). Kematian mereka oleh karena macam-macam penyakit kronik yang dideritanya bukan oleh karena COVID-19.

Saya pernah melakukan itu, ketika mengevaluasi kematian rakyat Amerika Serikat. Pada tanggal 30 Mei 2020 jumlah kematian Amerika Serikat 104542 orang. Tetapi setelah saya mengeluarkan para orang tua Amerika Serikat yang telah melewati life expectancynya (umur 75 tahun keatas) maka kematiannya tinggal 42.194 orang atau berkurang 59,63% (35).

Hasil dari evaluasi kerumunan di Sungai Gangga

Media masa mainstream lah sebagai penyebab kepanikan masyarakat dunia dan India atas kerumunan disungai Gangga. Dan apabila kita amati dari awal pandemik, media masa mainstreamlah, yang menjadikan COVID-19 ini suatu hal yang menakutkan bagi dunia. Mereka menyiarkan berita COVID-19 selama 24 jam penuh. Bahkan media masa mainstream di Amerika Serikat pernah menuliskan nama-nama 100 Ribu rakyat Amerika Serikat yang dikatakan meninggal dunia oleh karena COVID-19 (36). Bila mereka tidak menakut-nakuti masyarakat dengan memblow-up, 1002 orang yang positif COVID-19 dan mengarang cerita yang menyeramkan tentang virus India B.1.1617, maka kepanikan rakyat India akibat perayaan Kumbh mela tidak akan terjadi. Pemeriksaan masif pun tidak akan dilakukan.

Secara kebenaran, semestinya mereka menyatakan pada masyarakat India dan dunia, bahwa kemungkinan hanya 2% saja yang terkena COVID-19 dari 3.5 juta orang. Dan tidak usah khawatir dengan virus mutase B.1.617. Karena belum banyak penelitian tentang virus tersebut. Lain halnya dengan virus Inggris B.1.1.7 yang penelitiannya telah cukup banyak.

Kesimpulannya berkerumun disungai Gangga bukanlah penyebab tingginya angka kasus baru dan kematian akibat COVID-19. Penyebabnya adalah karena kepanikan masyarakat, petunjuk diagnosis COVID-19 yang tidak akurat dari WHO, pemeriksaan masif dari pemerintah India terhadap rakyatnya, nilai CT yang tinggi dan diagnosis dokter. Dimana terjadinya semua itu disebabkan oleh provokasi-provokasi oleh media masa mainstream.

Kesimpulan dari tulisan ini adalah :

  1. Total orang yang terkena COVID-19 sedunia adalah ratusan juta orang. Tapi kematian secara dunia rendah 2-3% saja. Laporan kematian semuanya berasal dari Rumah Sakit. Atau kematian di Rumah Sakit adalah tinggi.

Hal tersebut disebabkan:

  1. Diterimanya teori badai sitokin sebagai dasar patogenesis COVID-19 oleh para dokter sedunia. Sehinga semua penyakit dapat di diagnosis sebagai COVID-19. COVID-19 adalah penyakit 1000 wajah (the thousand faces diseases the great imitator diseases).
  2.  Panduan yang lemah dari WHO dalam akurasi diagnosis COVID-19 memperbanyak jumlah kasus COVID-19 dan secara otomatis mempertinggi kematian akibat COVID-19.
  3. Banyaknya jumlah kasus yang di diagnosis COVID-19, akibat nilai CT  yang tinggi pada pemeriksaan RT-PCR (CT > 30, misalnya CT ≤35 atau CT ≤40).
  4. Dihitungnya kematian orang tua yang telah melewati life excpectancynya dengan COVID-19 positif sebagai kematian akibat COVID-19.
  5. Stres berat yang terjadi akibat pasien dimasukkan ruang isolasi seorang diri.
  6. Obat-obat COVID-19 yang diberikan dapat memperburuk kesehatan pasien yang mempunyai penyakit selain COVID-19.
  7. Telah dibuktikan pada tulisan ini bahwa patogenesis COVID-19 adalah berdasar pada sel target SARS COV 2 di sel Goblet pada saluran napas bagian atas. Sehingga patofisologi yang terjadi hanyalah flu like syndrome. Dengan berpegang pada patogenesis COVID-19 seperti itu, maka kematian akibat COVID-19 menjadi 0 %.
  8. Dengan dasar poin nomor 2, maka vaksinasi COVID-19, menjadi tidak penting. bahkan sebaiknya ditiadakan. Karena tidak dapat mencegah reinfeksi COVID-19 dan dapat terjadi reaksi intrasel. Reaksi yang dapat menyebabkan kerusakan organ-organ, yang bisa berefek kemandulan dan kematian yang lebih cepat.
  9.  Dengan dasar poin nomor 2, maka menghilangkan aturan Tuhan dan menggantinya dengan protokol COVID-19, pada semua orang yang meninggal dengan diagnosis COVID-19 tidak dapat diterima. Terlebih lagi nilai CT RT-PCR yang digunakan adalah 24 keatas.
  10. Dengan menerima poin nomor 2 yang bearti patogenesis yang menjadi dasar patokan para dokter sedunia adalah suatu hal yang salah. Karena itu, merubah-rubah aturan Tuhan untuk berkerumun tidak dapat diterima. Silahkan berkerumun di sungai Gangga, Kab’ah, Gereja Santo Petrus Vatikan, Candi Borobudur, dan sebagainya. Silahkan berkerumun, di Masjid, Gereja, Kuil, Vihara, Sinagoge dan sebagainya. Dan silahkan berkerumun untuk bersekolah seperti biasa. Sebab menuntut ilmu dengan berkerumun di sekolah adalah aturan Tuhan juga.
  11. Mutasi virus SARS COV 2 yang saat ini menjadi perhatian serius dunia yaitu virus yang termasuk virus VOC (Variant of Concern) tidak perlu ditakutkan. Karena belum  dilakukan penelitian. Penelitian yang banyak dilakukan yaitu pada virus Inggris B.1.1.7. Dan hasil peneilitiannya masih kontroversial. Perlu dilakukan penelitian lebih banyak lagi.
  12. Dengan tidak terbuktinya berkerumun di Sungai Gangga sebagai penyebab tingginya kasus baru dan kematian akibat COVID-19 di India maka seyogyanya dapat menghilangkan rasa takut bagi siapapun untuk berkerumun.
  13. Dihimbau pada media masa mainstream sedunia untuk tidak terus menyebarkan berita berita yang menakuti masyarakat dunia tentang COVID-19.

Semoga Tuhan Semesta Alam, memberikan kemenangan dengan membebaskan semua manusia di bumi dari penjajahan COVID-19. Aamiin.

KEPUSTAKAAN

  1. Sethi V. Kumbh Mela attended by 3.5 million pilgrims as India becomes the second most COVID-19 affected country in the world. Bussines insider. 2021. accessed  2 June 2021 from  https://www.businessinsider.in/india/news/kumbh-mela-attended-by-3-5-million-pilgrims-as-india-becomes-the-second-most-covid-19-affected-country-in-the-world/slidelist/82044773.cms
  2. Kumbh Mela turns into ‘super spreader’ event; 1,701 people test COVID-19 positive between April 10-14. 2021.  accessed  2 June 2021 from  https://www.timesnownews.com/india/article/kumbh-mela-turns-into-super-spreader-event-1701-people-test-covid-19-positive-between-april-10/745478
  1. Linlin B, Wei D. The Pathogenicity of Sars-Cov-2 In hACE 2 Transgenic Mice. Nature Research. 2020 July; 583(7818):1-6, accessed  2 June 2021 from https://www.researchgate.net/publication/341207265_The_pathogenicity_of_SARS-CoV-2_in_hACE2_transgenic_mice
  2. Chaolin HYeming WXingwang L, et al. Clinical Features Of Patients Infected with 2019 Novel Coronavirus in Wuhan, China. Lancet. 2020; 395(10223):497-506.
  3. Ivan MR, Roitt’s Essential Immunology (Essentials) 9th Edition. 1997
  4. Wardon S, Ni H, Christophe B, et al. SARS-CoV-2 Entry Factors Are Highly Expressed in Nasal Epithelial Cells Together with Innate Immune Genes. Nature Medicine. 2020 Apr;26:281-287, accessed 2 June 2021 fromhttps://www.nature.com/articles/ s41591-020-0868-6
  5. Hamming I, Times W. Tissue distributed of ace 2 protein, the functional receptor for sars corona virus: A first step in understanding sars pathogenesis. Journal of Pathology.2004
  6. Soeren L, Roland E. Timo T, et al. Sars-Cov-2 Receptor Ace 2 and TMPRSS2 Are Primarily Expressed in Bronchial Transient Secretory. The EMBO Journal. 2020 May;39(10):e105114, accessed  2 June 2021 from https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov /32246845/
  7. Mason, JR. Pathogenesis of Covid-9 from A Cell Biology Perspective. European Respiratory Journal. 2020; 55.https://erj.ersjournals.com/content/55/4/2000607
  8. Cooper T, Woodward B, Alom S, Harky A. Coronavirus Disease 2019 (COVID‐19) Outcomes in HIV/AIDS Patients: A Systematic Review. HIV Med. 2020 July;21:567-577. doi:10.1111/hiv.12911
  9. Hellfritzsch M, Scherließ R. Mucosal vaccination via the respiratory tract. Pharmaceutics. 2019;11(8):1–24.
  10. World Health Organization. COVID-19 Weekly Epidemiological Update(25 April 2021). World Health Organization; 2021.
  11. WHO Classifies Indian Coronavirus mutation as a ‘variant of concern’. 2021. accessed  2 June 2021 from  https://www.dw.com/en/who-classifies-indian-coronavirus-mutation-as-a-variant-of-concern/a-57488436
  12. Volz E, Mishra S, Chand M, et al.Transmission of SARS-CoV-2 Lineage B.1.1.7 in England: Insights from linking epidemiological and genetic data. 2021.
  13. Wise J. Covid-19: New coronavirus variant is identified in UK. BMJ 2020;371:m4857
  14. Risk Assessment: Risk related to the spread of new SARS-CoV-2 variants of concern in the EU/EEA – first update. European Centre for Disease Prevention and Control . accessed  2 June 2021 from  https://www.ecdc.europa.eu/en/publications-data/covid-19-risk-assessment-spread-new-variants-concern-eueea-first-update
  15. Public health England. Technical Briefing 3: Investigation of Novel  SARS-Cov-2 variant.2020. accessed  2 June 2021 from  https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/959360/Variant_of_Concern_VOC_202012_01_Technical_Briefing_3.pdf
  16. Public health England. Technical Briefing 3: Investigation of Novel  SARS-Cov-2 variant.2020. accessed  2 June 2021 from  https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/959361/Technical_Briefing_VOC202012-2_Briefing_2.pdf
  17. Challen R, Pollock EB, Read JM. Risk of Mortality in Patient Infected with SARS-COV-2 Variant of concern 202012/1: matched cohort study. BMJ. 2021:372;n579
  18. MC Lernon LM, Scnirring L, Swain MW. Death rate 64% higher with B117 COVID variant, study finds [Internet]. center for infectious disease research and policy (CIDRAP). 2021 [cited 2021 Jun 3]. p. 1. Available from: https://www.cidrap.umn.edu/news-perspective/2021/03/death-rate-64-higher-b117-covid-variant-study-finds
  19. Koshy J. B.1.617: Indian Double Mutant Strain [Internet]. drishtiias.com. 2021 [cited 2021 Jun 3]. p. 1. Available from: https://www.drishtiias.com/daily-updates/daily-news-analysis/b-1-617-indian-double-mutant-strain
  20. ECDC. Emergence of SARS-CoV-2 B.1.617 variants in India and situation in the EU / EEA Event background Epidemiology. European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC). 2021;(21):1–12.
  21. Galloway S, Paul P, MacCannel DR, Joansson MA, Books JT. Emergence of SARS-CoV-2 B.1.1.7 Lineage-United States, December 29, 2020-January 12, 2021 [Internet]. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2021 [cited 2021 Jun 3]. p. 1. Available from: https://www.cdc.gov/mmwr/volumes/70/wr/mm7003e2.htm
  22. Pragya Y, Potdar VA, Choudhary ML, Nyayanit DiA. Full-genome sequences of the first two SARS-CoV-2 viruses from India [Internet]. Pan American Health Organization (PAHO). 2020. p. 1. Available from: https://covid19-evidence.paho.org/handle/20.500.12663/979
  23. Jefferson T, Spencer E, Brassey J, Heneghan C. Viral cultures for COVID-19 infectivity assessment – a systematic review (Update 4) [Internet]. Infections Disease Society Of America (IDSA). 2020 [cited 2021 Jun 3]. p. 40. Available from: https://academic.oup.com/cid/advance-article/doi/10.1093/cid/ciaa1764/6018217
  24. WHO. WHO COVID-19: case definitions: updated in public health surveillance for COVID-19, published 16 December 2020 [Internet]. World Health Organization. 2020 [cited 2021 Jun 3]. p. 1. Available from: https://apps.who.int/iris/handle/10665/337834
  25. WHO. Transmission of SARS-CoV-2: implications for infection prevention precautions [Internet]. World Health Organization. 2020 [cited 2021 Jun 3]. p. 1. Available from: https://www.who.int/news-room/commentaries/detail/transmission-of-sars-cov-2-implications-for-infection-prevention-precautions
  26. WHO. Clinical management Clinical management Living guidance COVID-19 [Internet]. World Health Organization (WHO); 2021. 81 p. Available from: https://www.who.int/publications-detail-redirect/WHO-2019-nCoV-clinical-2021-1
  27. Xiao AT, Tong YX, Zhang S. Profile of RT-PCR for SARS-CoV-2: A Preliminary Study From 56 COVID-19 Patients [Internet]. PUBMED. 2020 [cited 2021 Jun 3]. p. 12. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32306036/
  28. Lestari TY. Mengenal Arti CT dalam Test PCR Swab [Internet]. Klik Dokter. 2021 [cited 2021 Jun 3]. p. 1. Available from: https://www.klikdokter.com/info-sehat/read/3647096/mengenal-arti-ct-dalam-test-pcr-swab
  29. Sharma M. What is CT value in Covid-19 RT-PCR test | All you need to know [Internet]. India Today. 2021 [cited 2021 Jun 3]. p. 1. Available from: https://www.indiatoday.in/coronavirus-outbreak/story/ct-value-covid19-coronavirus-rt-pcr-test-all-you-need-to-know-1791844-2021-04-16
  30.  Iswara AJ, dkk. 1.000 Orang Mandi Massal di Sungai Gangga Positif Covid-19. Jakarta; Kompas 15 April 2021, 20:46 WIB. https://www.kompas.com/global/read/2021/04/15/204618370/1000-orang-mandi-massal-di-sungai-gangga-positif-covid-19-panitia-kami
  31. Kiki SF, dkk. RI Kembali Kirim Bantuan 2000 Tabung Oksigen Ke India. Kompas Jakarta 29 Mei 2021, 12:01 WIB. https://money.kompas.com/read/2021/05/29/120100426/ri-kembali-kirim-bantuan-2.000-tabung-oksigen-ke-india diakses pada 4 Juni 2021 Pukul 01.40 WIB.
  32. India Life Expectancy 1950-2021. https://www.macrotrends.net/countries/IND/india/life-expectancy Diakses pada 4 Juni 2021 Pukul 01:30 WIB.
  33. Intermezzo : Kematian 100 Ribu Rakyat Dan Horor Covid-19 (Pandemi Covid-19 Telah Selesai). https://dhf-revolutionafankelijkheid.net/intermezzo-kematian-100-ribu-rakyat-as-dan-horor-covid-19-pandemi-covid-19-telah-selesai/ Diakses pada 4 Juni 2021 Pukul 01:05 WIB
  34. The New York Times. Us Death Near 100.000 An Inclucable loss. Nytimes.com. Diakses pada 4 Juni 2021 Pukul 01:53 WIB https://www.nytimes.com/2020/05/24/opinion/letters/coronavirus-100000-deaths.html