Bismillaahirrohmaanirrohiim,
Peran Dokter Amerika Serikat dalam Kekalahan Trump
(Tidak Memilih Trump Adalah Suatu Blunder dari Rakyat Amerika Serikat)
Taufiq Muhibbuddin Waly, M.D., Internist
Secara sederhana, tugas utama seorang presiden adalah meningkatkan taraf ekonomi rakyat. Terlebih lagi bagi negara materialistis, seperti AS.
Ekonomi negara yang sukses, adalah meningkatnya taraf kehidupan rakyatnya, tanpa harus menaikkan pajak dari rakyatnya. Bila presiden atau pemimpin negara itu mampu menaikan taraf kehidupan rakyatnya, tanpa harus menaikkan pajak dari rakyatnya, bahkan menurunkan pajak dari rakyatnya, maka nilai cumlaude, harus diberikan kepada presiden atau pemimpin negara tersebut.
Presiden AS, Donald Trump, dengan hanya 5 tahun pemerintahanya telah mendapatkan nilai cumlaude. Ekonomi AS meningkat. Taraf hidup rakyat AS meningkat. Pajak rakyat AS menurun, dari 35% menjadi 21%. Karena itu, suatu hal yang aneh bila rakyat AS, tidak memilih Trump sebagai presiden mereka.
Sulit untuk dibantah. bahwa, diluar adanya kemungkinan terjadinya kecurangan dalam pilpres AS, COVID-19, adalah penyebab tidak dipilihnya Trump oleh rakyat AS. Tidak memakai masker dianggap oleh masyarakat AS adalah identik dengan tidak aware nya Trump terhadap bahaya COVID-19. Atau terpilihnya Biden, bukanlah karena program-program ekonominya yang hebat. Tetapi hanya karena dia memakai masker.
Media massa mainstream AS pun sangat memblow-up masalah tersebut. Sehingga pernah terjadi, pada bulan Mei 2020 lalu, halaman depan dari New York Times, hanya berisi nama-nama 100.000 rakyat Amerika Serikat yang dianggap meninggal oleh karena COVID-19.
Pada pendapat saya, adalah sangat ironis, bila seorang presiden AS, dengan nilai cumlaude bisa dikalahkan oleh karena dia tidak memakai masker. Seyogyanya hal tersebut tidak terjadi, bila rakyat Amerika Serikat telah cerdas dalam masalah kesehatan atau COVID-19 itu.
Pada hemat saya, selain mengobati pasien, tugas seorang dokter adalah mencerdaskan masyarakat dalam masalah kesehatan. Bahkan lebih jauh lagi, dalam segala hal. Seperti yang dilakukan oleh dr. Sun Yat Sen (China), dr. Benjamin Franklin (AS), dr. Che Guevara (Argentina), dr. Jose Rizal (Filipina), dr. Cipto Mangunkusumo (Indonesia), dan sebagainya.
Dengan dasar tulisan diatas, adalah wajib bagi saya untuk mempelajari penyakit ini secara sungguh-sungguh. Apakah benar bahwa COVID-19 ini adalah penyakit menular yang mematikan? Apakah benar bahwa keganasan COVID-19 ini melebihi SARS atau MERS? Sehingga karena begitu ganasnya, segala penyakit apapun juga, dapat disebabkan oleh karena COVID-19 itu (the great imitator disease / the thousand faces diseases / cytokine storm theory).
Seseorang yang tanpa gejala dan hanya kontak erat dengan COVID-19 positif, harus dipenjara di rumahnya selama 2 minggu. Bila orang tersebut mati dalam penjara tanpa sebab trauma, dan belum diperiksa swab tenggorokanya, mayatnya harus dibungkus plastik. Bahkan bukan hanya dibungkus plastik, tetapi seluruh ritual keagamaan pada orang yang meninggal itu harus ditiadakan. Apakah segala hal tersebut bukan suatu kekonyolan dan kezaliman yang tiada tara?
Saya tidak melihat penolakan yang signifikan dari dokter-dokter AS mengenai ajaran WHO tentang COVID -19 itu. Fakultas kedokteran Harvard, sebagai fakultas kedokteran nomor satu di dunia, tidak pula terlihat penolakannya. Atau dengan kata lain FK Harvard setuju dengan ajaran WHO tentang COVID-19 itu. Setuju dengan apa yang dituliskan oleh media mainstream AS untuk terus menerus mengkritik Trump dalam masalah COVID-19 itu.
Di lain pihak, investigasi saya pada jurnal-jurnal internasional, menunjukkan bahwa bahaya dari COVID -19 itu, hanyalah setingkat dengan influenza biasa saja. Atau apa yang dilakukan Trump dengan tidak memakai masker dan kebijakanya yang menolak lockdown, adalah sudah benar. Karena patogenesis penyakit tersebut menunjukkan bahwa COVID -19, berbeda dengan SARS atau MERS. WHO mengajarkan patogenesis COVID -19 identik dengan SARS atau MERS.
Kesimpulan yang saya dapatkan setelah menganalisis jurnal-jurnal internasional adalah bahwa sel target dari SARS-CoV-2 adalah pada sel goblet di saluran nafas pada bagian atas. Sedangkan SARS-CoV-1 dan MERS-CoV pada sel pneumocyst di saluran nafas bagian bawah yang berdekatan dengan sel-sel alveolus di paru-paru. Dengan demikian pada SARS atau MERS kerusakan organ paru atau ditemukanya pneumonia dan ARDS sangat mudah terjadi (patofisiologi). Tapi, tidak demikian halnya untuk COVID-19. Pneumonia dan ARDS sangat sulit terjadi. Apalagi kerusakan pada organ-organ dalam lainnya. Adanya badai sitokin dan kerusakan organ-organ dalam lainya, didasarkan pada penelitian dengan menyuntikan virus SAS-CoV-2 ketubuh tikus. Atau SARS-COV-2 langsung masuk kedalam darah tikus. Padahal, infeksi SARS-CoV-2 ke tubuh manusia adalah melalui saluran nafas (droplet infection). Jadi tidak langsung masuk ke dalam sirkulasi darah manusia. Dengan dasar bahwa sel target terdapat pada saluran nafas bagian atas dan penularan secara droplet infection, maka tidak ada yang perlu ditakuti dengan varian baru dari SARS-CoV-2. Kecuali varian baru itu berubah menjadi seperti SARS-CoV-1 atau MERS-CoV. Dengan dasar itu pula, semua cause of death (COD) yang dikatakan oleh karena COVID-19 harus diberikan pertanyaan besar.
Berpegang teguh, pada anamnesis, pemeriksaan fisik, patogenesis, dan patofisiologis suatu penyakit adalah 70% kebenaran dari suatu diagnosis. Hasil ronsen dan laboratorium adalah pembantu diagnosis untuk mencapai kebenaran 100%. Pola pikir seperti itulah yang merupakan perbedaan mendasar dari seorang internist dalam memberikan terapi bila dibandingkan dengan para spesialis lainya dan orang-orang pintar lainya (Yesus Kristus, Nabi Muhammad, Rasputin, dan para tabib atau dukun lainya).
Lebih jauh lagi, saya mendapatkan dari jurnal-jurnal internasional itu bahwa 10 vaksin unggulan dari WHO itu ternyata tidak menimbulkan respon imunitas yang baik. Membandingkan bahwa orang-orang yang telah divaksinasi ternyata menderita COVID-19 lebih sedikit ketimbang orang-orang yang tidak divaksinasi adalah sangat subjektif (uji klinis fase 3).
Misalnya pada keadaan flu season sejak bulan Oktober sampai sekarang. Kasus suspect COVID-19 dan probable COVID-19 adalah sangat banyak.Dan bila mereka diberikan vaksin pada bulan Oktober,dan kemudian bulan Desember mereka tidak terkena flu lagi,maka itu bukanlah karena keefektifan vaksin,tapi karena daya tahan tubuhnya sendiri. Dan mengatakan bahwa orang-orang yang tidak divaksin terkena COVID-19 lebih banyak , bukanlah karena belum divaksin,tetapi karena mereka belum terkena serangan flu season atau daya tahan tubuh mereka lemah.Atau daya tubuh adalah dasar untuk terjadinya atau tidak terjadinya COVID-19.Atau klaim vaksin-vaksin itu yg mengatakan keefektifan lebih 90 % adalah sangat subiektif. Pengukuran keefektifivitas vaksin haruslah dilakukan secara objektif.Yaitu mengukur respon imun yang terjadi akibat penyuntikkan vaksin.Laporan dari 10 vaksin yang direkomendasi WHO,di uji klinis tahap 2 ,pada penilaian saya tidak memenuhi syarat vaksin ideal.(Agama COVID-19,Vaksin Dagelan dan Horror,dhf-revolutionafankelijkheid.net) Vaksin iideal adalah didapatkannya IgG terhadap spike protein Corona virus dengan cara pengukuran titer secara standar/Elisa dan ketinggian titer lebih dari 1:200,adanya titer antibodi netralising dengan cara pengukuran standar dan titer lebih dari 1:200,adanya peningkatan limposit T sitotoksik dan sel Natural Killer dan adanya respon imunitas yg ditunjukkan secara klinis yaitu suhu tubuh lebih atau sama dengan 38 derajat C.Dan dari 10 vaksin unggulan WHO itu tidak ada satupun yg memenuhi syarat itu. Sehingga semuanya saya anggap sebagai vaksin Dagelan. Dan yang terlucu adalah Sinovac, kemudian Sinopharm. Betapapun demikian vaksin terlucu itu, paling aman, ketimbang yang kurang lucu seperti vaksin Johnson, Pfizer atau Moderna. Dapat dimaklumi kenapa dunia ini lebih memilih membuat vaksin dagelan, ketimbang membuat vaksin horor (menyebabkan efek samping yang berbahaya atau kematian manusia). Membadutkan dunia lebih dipilih ketimbang menghororkan dunia. Semestinya yang dilakukan dunia bukanlah membadutkan dunia atau menghororkan dunia, tetapi mengevaluasi pendapat saya tentang COVID-19. Bila memang COVID-19, hanya setingkat influenza biasa saja dan tidak ada badai sitokin, maka pembuatan dan vaksinasi COVID-19, tidak diperlukan.
Saya menemukan suatu jurnal terbaru, yang pada hemat saya perlu dibahas pada artikel ini (S.F. Lumley, et al. Antibody Status and Incidence of SARS-CoV-2 Infection in Health Care Workers. The New England Journal of Medicine, 23 Desember 2020).
Pada jurnal tersebut dituliskan bahwa hanya 2 orang dari 1.265 orang dengan IgG anti-spike positif, terinfeksi lagi COVID-19, dalam 6 bulan kedepan setelah terdeteksinya IgG anti-spike tersebut (Base line IgG anti-spike positif). Apakah itu menunjukan suatu vaksin hanya cukup mempunyai titer IgG anti-spike positif saja sebagai tanda respon imunitas yang baik terhadap SARS-CoV-2?
Penelitian itu adalah penelitian yang lemah. Karena tidak memeriksa antibodi neutralizing, sel limfosit T sitotoksikdan Sel Natural Killer. Dengan hanya 2 dari 1.265 orang yang terinfeksi lagi SARS-CoV-2 setelah 6 bulan terdeteksinya IgG anti-spike, maka itu menunjukan bahwa imunitas orang tersebut sangat bagus. Karena itu diyakini bahwa selain IgG anti-spike orang tersebut juga mempunyai antibodi neutralizing yang tinggi. Begitu juga dengan limfosit T sitotoksikdan Sel Natural Killernya. Jadi, bukan hanya IgG anti-spike positif saja yang menyebabkan hanya 2 dari 1.265 orang yang terinfeksi lagi setelah 6 bulan.
Penelitian untuk membandingkan titer Ig A pada orang-orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 (RT-PCR +), dengan orang-orang yang belum terinfeksi SARS-CoV-2 (RT-PCR -) serta korelasinya untuk terjadinya reinfeksi SARS-CoV-2 dalam 6 bulan kedepan setelah pengukuran awal titer Ig A (Nilai baseline) pada hemat saya, lebih berguna untuk menunjukkan imunitas setelah terinfeksi SARS-CoV-2. Karena sesuai kepustakaan antibodi IgA, lebih berperanan ketimbang IgG dan IgM, pada infeksi yang melalui saluran nafas bagian atas.
Dengan dasar diatas, kesimpulan yang didapatkan pada jurnal tersebut yang mengatakan bahwa besarnya kemungkinan seseorang yang belum mempunyai IgG anti-spike (8x lebih besar untuk terkena COVID-19) bukanlah karena hanya disebabkan tidak adanya IgG anti-spike saja. Tetapi juga karena tidak adanya antibodi neutralizing, limfosit T sitotoxic, dan sel Natural Killer.
Selain itu gaya hidup mereka pun kemungkinan besar telah berbeda. Orang-orang yang telah mempunyai IgG anti-spike atau anti-nucleocapsid atau kombinasi keduanya, dipastikan telah pernah terinfeksi SARS-CoV-2. Sehingga orang-orang tersebut akan lebih berhati-hati dalam sikapnya. Misalnya, memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan berkali-kali. Makanan bergizi pun akan lebih dijaga, ketimbang orang-orang yang belum pernah terkena COVID-19. Jadi, bukan karena adanya IgG anti spike + atau IgG antinucleocapsid + atau kombinasi keduanya yang menyebabkan seseorang menjadi tidak terinfeksi lagi oleh COVID-19. Perubahan gaya hidup kemungkinan adalah penyebab kenapa orang-orang tersebut sulit untuk terjadi reinfeksi lagi.
Dengan semua yang telah ditulisakn diatas, maka pertanyaanya adalah apakah saya yang benar atau dokter-dokter AS / FK Harvard yang benar dalam masalah COVID-19 itu?
Dalam usaha mendapatkan kebenaran tertinggi dan mencerdaskan masyarakat dunia ini dalam masalah COVID-19, maka tulisan ini saya kirimkan ke 10 fakultas kedokteran terbaik sedunia.
Tulisan inipun saya harapkan akan menambah budaya keberanian dari para dokter sedunia untuk menilai / mengevaluasi / mengkritik bahkan menolak tulisan-tulisan pada jurnal internasional, pendapat para guru besar (seperti Anthony Fauci), keputusan CDC, atau bahkan WHO. FK Harvard dan semua FK sedunia seyogyanya telah menanamkan budaya keberanian ini pada saat calon dokter itu masih dalam pendidikan.
Pada akhirnya saya berharap semoga New York Times, dapat memuat tulisan ini sebagai upaya dalam mencerdaskan rakyat AS pada masalah COVID-19 atau minimal sebagai pembanding dari apa yang diajarkan oleh WHO.
Artikel ini dikirimkan pada:
1. UNESCO
2. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump
3. Organisasi Kerjasama Islam (OIC)
4. Harvard University, United States.
5. University of Oxford, United Kingdom.
6. University of Cambridge, United Kingdom.
7. Stanford University, United States.
8. John-Hopskin University, United States.
9. Karolinska Institute, Sweden.
10. University of California, Los Angeles (UCLA) United States.
11. Yale University, United States.
12. Imperial College London, United Kingdom.
13. University of California, San Fransisco.
14. The New York Times
DAFTAR PUSTAKA
1. Waly TM. The Death of 100,000 US People and The Horror of COVID-19 (The COVID-19 Pandemic has been Over) [Internet]. 2020. [cited January 1st 2020]. Available from: DHF-REVOLUTIONAFANKELIJKHEID » Blog Archive » Intermezzo: The Death of 100,000 US People and The Horror of COVID-19 (The COVID-19 Pandemic has been Over) (dhf-revolutionafankelijkheid.net)
2. Waly TM. Trump Answers The New England Journal of Medicine (NEJM) [Internet]. 2020. [cited January 1st 2020]. Available from: DHF-REVOLUTIONAFANKELIJKHEID » Blog Archive » Artikel 57 – TRUMP ANSWERS THE NEW ENGLAND JOURNAL OF MEDICINE (NEJM) (dhf-revolutionafankelijkheid.net)
3. Waly TM. CoVID-19: God Punishes The World Or The World Punishes Itself. 2020. [cited January 2nd 2020]. Available from: DHF-REVOLUTIONAFANKELIJKHEID » Blog Archive » Artikel 55 – CoVID-19: GOD PUNISHES THE WORLD, OR THE WORLD PUNISHES ITSELF (A Discussion with International Journals) (dhf-revolutionafankelijkheid.net)
4. Waly TM. COVID-19 Religion, Slapstick Vaccine And Horror Vaccine (Fight Against Colonization by COVID-19). 2020. [cited January 2nd 2020]. Available from: DHF-REVOLUTIONAFANKELIJKHEID » Blog Archive » Artikel 59 – COVID-19 RELIGION, SLAPSTICK VACCINE AND HORROR VACCINE (Fight Against Colonization by COVID-19) (dhf-revolutionafankelijkheid.net)